ADA teori yang memaparkan bahwa peristiwa teater bisa terjadi ketika ada empat syarat, yaitu keberadaan aktor dan penonton yang berada di satu tempat, dan dalam waktu yang sama. Bener, nggak? :D

Pada hari ke-11 bulan Maret 2016, berlokasi di Moo Milk Jalan Sugeng Jeroni --arah Bugisan,  Yogyakarta, kami bertiga; Jamaluddin Latif, Desi Puspitasari, Utroq Trieha, menyempatkan diri untuk bertemu. Sambil menikmati sajian minuman, kami juga berdiskusi ihwal teater.      Pertemuan ini tak lain adalah sebagai buah dari dihubunginya Jamaluddin Latif oleh panitia Festival Monolog Teater dari Solo pada bulan Maret 2016.

Dalam pertemuan tersebut, pihak panitia Festival Monolog dari Solo menginginkan agar Jamaluddin Latif turut meramaikan yang agendanya akan dihelat pada bulan September 2016.     Sesaat setelah dihubungi pihak panitia festival Monolog, kali ini Jamaluddin Latif langsung menghubungi Desi Puspitasari untuk turut serta dalam penggarapannya.

"Sebuah pertunjukan bisa saja berangkat dari aktor yang bergerak dan mengupayakan semuanya sendiri. Namun, kali ini aku ingin mengajak teman-teman sebagai sebuah tim pertunjukan. Nanti akan ada sutradara, penulis naskah, musik, tim artistik, dan lain-lain." Begitu ujar Jamal.

Jamal langsung terpikir memilih Desi Puspitasari sebagai penulis naskah karena untuk pertunjukan monolog kali ini, semuanya berangkat dari salah satu cerpen karya Danarto yang pernah terpublikasikan pada buku kumpulan cerpen Adam Makrifat ataupun Godlob.      Karenanya, sebelum pertemuan kali ini, kami sudah sama-sama membaca cerpen Godlob dan Adam Ma’rifat, yang keduanya selain sebagai judul cerpen juga digunakan sebagai judul buku kumcer. 

Pada awalnya, pilihan cepen yang hendak kami adaptasi ke atas panggung adalah Godlob.  Alasannya karena cerpen Godlob sudah banyak dikenal. Sehingga apabila dipentaskan sudah semestinya akan menarik perhatian banyak  orang yang penasaran tentang bagaimana sebuah teks bisa diwujudkan ke dalam pemanggungan. Dengan begitu kami akan ada kesempatan untu mendapatkan keuntungan, terutama pada saat penampilan monolog Jamal di atas ekspektasi. Hanya saja bukan tanpa risiko, pasalnya ketika tak sesuai bayangan penonton, bukan tidak mungkin kami akan mendapatkan nilai negatif.


Sebagai catatan, Desi bisa memaparkan kalimat itu karena Jamal menginginkan agar pertunjukan monolog ini tak sekadar mementaskan cerpen Danarto, namun ada nilai atau tema lain yang juga musti dimasukkan. Artinya, naskah dan pertunjukan monolog ini tak hanya memindah medium, namun juga membikin sebuah karya baru.

Namun sayang seribu sayang, saat itu juga, ketika Jamal mengonfirmasi cerpen Godlob ke Halim Hade di Solo….. Jawaban yang diperoleh adalah...

Jeeeng… jeeenggg….

Cerpen itu sudah dipilih oleh penampil dari kota lain. Kami kalah cepat :)

***
Pilihan cerpen belum ada kesepakatan. Sehingga Desi dan Jamal memutuskan untuk waktu selanjutnya masing-masing musti membaca lagi buku Danarto sambil mencari cerpen lain guna diangkat dalam pementasan. 

Diskusi sampai pula pada bahasan tim produksi dan musik. Untuk musik, Trie ingin Leilani Hermiasih atau FRAU yang mengisi. Kita tahu sendiri kemampuan Lani seperti apa, kan? Tentunya pertunjukan bisa menjadi semakin menarik bila Frau turut berperan pada bagian musik. Jamal juga mengusulkan untuk sutradara memilih Ibed Surganayuga. Kita sepakat.   Namun sekali lagi, sayang seribu sayang, karena ternyata Lani sedang disibukkan dengan bangku kuliah di manca negara sana. Sehingga Jamal pun segera mencari pengganti yang berkompeten di musik.

Sementara ketika Jamal menyinggung untuk urusan tim produksi, Trie dan Desi tidak bisa meng-handle. Akan lebih baik jika tim produksi memang dihadirkan orang-orang khusus sendiri dengan kemampuan mumpuni. Untuk hal ini Jamal setuju dan akan menghubungi teman-teman lain sebagai tim produksi. [dps|uth]